Kamis, 08 Oktober 2015

Kutera NamaMU

NamaMu kutera, Ya Allah,
Di catatan sekolahku
Di dahan-dahan dan bangku
Di pasir, di salju
Nama-Mu kutera

Di semua halaman yang kubaca
Di setiap halaman yang tersisa
Dengan darah, dengan debu, di kertas, di batu
Nama-Mu kutera, Ya Allah

Pada gilang lukisan keemasan
Pada kilau senja genggaman ksatria
Pada tiap mahkota diraja
Nama-Mu kutera

Di belantara, di gurun gersang
Dalam sarang, dalam belukar menguning
Di relung gaung masa kecilku
Nama-Mu kutera

Pada rona keindahan di dalam hari
Pada kerat roti hari ke hari
Pada musim demi musim yang silih berganti
Nama-Mu kutera, Ya Allah

Pada bentangan lembut kain yang biru
Pada kelembaban di telaga surya
Pada purnama penuh yang menyinari danau
Nama-Mu kutera

Seluas padang, sebatas cakrawala
Sejauh kepak sayap mengembang
Seputar lingkar bayangan berada
Nama-Mu kutera

Pada cuat disaat reka fajar
Pada kelipan cahaya di jajaran perahu
Dalam getaran dan gelegar di perut gunung
Nama-Mu kutera

Pada riak awan yang berkejaran
Dalam kuyup deraan topan
Saat hambar did era hujan
Nama-Mu kutera, Ya Allah

Pada cipta kegemerlapan karya
Saat dentang lonceng merona
Dalam pusparagam isi alam nyata
Nama-Mu kutera

Di lorong-lorong taman
Di selebar jalan-jalan memanjang
Pada hamparan luas lapangan
Nama-Mu kutera

Dalam terang cahaya nyala lentera
Dalam gelap di keremangan tanpa lentera
Di kehangatan insan kerabat rumahku bersua
Nama-Mu kutera

Dalam belahan buah
Pada cermin dan kamarku
Di atas tempat tidur kosongku
Nama-Mu kutera

Pada kambing rakusku yang gemuk
Pada kupingan yang panjang
Pada bulunya yang lembut
Nama-Mu kutera

Pada gelegar pintuku
Pada barang-barangku
Di liukan lidah api suci
Nama-Mu kutera

Pada semua bagian tubuh yang cocok
Pada kening-kening temanku
Pada semua tangan yang terlujur
Nama-Mu kutera

Pada pantulan kaca rias
Pada rekah bibir saat gairah
Nun jauh di kesunyian menyengat
Nama-Mu kutera

Pada puing-puing perlindungan
Pada reruntuhan mercu suarku
Pada kendala-kendala kebosananku
Nama-Mu kutera

Dalam kehampaan tiada hasrat
Dalam kesunyian yang menyengat
Dalam desir langkah maut menjemput
Nama-Mu kutera

Saat kesehatan telah kembali
Saat mara bahaya telah sirna
Dating dambaan di kehampaan
Nama-Mu kutera

Dan dengan seucap mantra
Kubangkitkan lagi keberadaanku
Aku ada demi mengenalmu
Demi nama-Mu
ALLAH

Rabu, 07 Oktober 2015

Gajah Mati Meninggalkan Gading, Masihkah? (Untuk Pak Sadiono).

Ingatkah kita dengan peribahasa “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang?” hal itu nampaknya perlu kita uji kebenarannya. Mengapa demikian? Ya mari kita lihat kenyataan yang ada, bahwa sekarang banyak gajah-gaja mati (dibunuh) di Sumatra dan Gadingnya diambil oleh  para kolektor, sehinggan Gajah mati tidak meninggalkan gading. Pun demikian halnya dengan Harimau yang mati, sudah banyak yang dikuliti sebagai bahan produk kulit. Jadi, Harimau mati tanpa kulit. Itulah analisa sederhana tentang mengapa perlu diuji kebenaran peribahasa diatas. Hehehe…  ya, ini sekedar menyindir bagi para pemburu-pemburu satwa liar di Sumatra dan Kalimantan sana yang dengan tega menghabisi gajah dan harimau, kemudian mengambil gading dan kulitnya, lalu membiarkan mereka (gajah dan harimau) mati tergeletak begitu saja di tengah hutan.
Nah, bicara tentang peribahasa tersebut, ini juga berkaitan dengan manusia bahwa artinya, setiap orang meninggal pasti meninggalkan kesan yang mendalam terhasap orang yang ditinggalkan. Nah, ini yang akan saya bahas dalam tulisan saya kali ini, tentang kesan yang begitu mendalam dari orang yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Selasa, 6 Oktober 2015, pukul 16.00 WIB, terjadi suatu perbincangan ringan di salah satu koridor ruangan salah satu sekolah tinggi swasta di Lamongan. Singkat kata singkat cerita, tersebutlah seorang anak cantik jelita sebagai ketua kelas bernama panggilan Elita. Entah kebetulan atau tidak, si elita bercerita tentang keluarga dan sebab musabab tentang kenapa dia berhenti kuliah di UB. Dan itu yang membuat banyak teman-teman lain penasaran, mengapa sudah kuliah di UB Malang, Jurusan Teknik Kearsipan, tapi justru berhenti, keluar dan pindah kuliah ke salah satu sekolah tinggi swasta di Lamongan.
Singkat kata singkat cerita, si Elita memilih putus kuliah di Malang dan kuliah di Lamongan untuk menemani ibunya, karena ayahnya yang meninggal. Sungguh anak yang berbakti. Pak Sadiono, adalah nama dari si Elita tadi. Dan setelah mendengar nama Sadiono, maka 10 mahasiswa yang ada di kerumunan tersebut, beberapa meneteskan airmata dan beberapa mengucap “Ya Allah”, ada pula yang langsung memeluk si Elita secara spontan. Dari kejadian itu, saya menyimpulkan bahwa pak Sadiono mempunyai kesan yang mendalam terhadap 10 orang tersebut. Sebagai catatan ya, 10 mahasiswa tadi tidak seumuran. Ada yang sudah berkeluarga, sudah bekerja dan sudah menikah.
Dari 10 orang tersebut, langsunglah bermunculan cerita-cerita yang baik-baik tentang almarhum semasa hidupnya. Ada yang merupakan rekan kerja dari Pak Sadiono. Ada yang merupakan murid dari beliau. Ada pula yang pernah merasa ditolong oleh beliau. Ada pula yang lain-lain cerita yang cukup panjang yang saya dengar. Dan saya turut mendengarkan satu per satu cerita tersebut. Banyak nilai yang bias saya ambil dari cerita-cerita mereka, tentang pak Sadiono semasa hidupnya. Sungguh luar biasa. Meskipun saya tidak mengenal pak Sadiono di masa hidupnya, tapi saya yakin bahwa beliau merupakan orang yang sangat luar biasa semasa hidupnya.

Semoga, almarhum Pak Sadiono mendapatkan tempat yang layak di sisiNya. Dan semoga yang ditinggalkan, istrinya dan mbak Elita, diberi kesabaran dan ketabahan untuk tegar menjalani hidup ini. Dan sekali lagi saya menyampaikan kekaguman terhadap pak Sadiono.  Semoga, budi-budi pak Sadiono tidak terlupakan sepanjang masa bagi orang-orang yang merasakan jasa-jasa beliau. Salam hormat saya untuk bapak. Untuk mbak Elita, tetap semangat.

Selasa, 06 Oktober 2015

Sebilah Pisau

Jika hanya sebilah pisau yang kau miliki dalam perang,
Apakah engkau akan menyerah
kepada musuhmu yang berpedang?,
Bagiku TIDAK!
Karena, menyerah pun sama artinya dengan kematian

Ya, bagiku, TIDAK untuk menyerah.
karena menyerah, artinya dengan mengantar kematian.
maka ayunkan sebilah pisau itu
sekenanya,
sesampainya,
karena hanya itu senjata yang tersisa.
lalu, serahkan semua kepada Allah.
jika menang, itu karena keberanianmu dan karuniaNya,
jika kalah, itu karena keterbatasanmu dan kejamnya dunia.


Dalam Ruang Perenungan Kerja, 6 Oktober 2015